Anestesi rawat jalan atau anestesi ambulatori modern dimulai dengan menggunakan nitrogen oksida pada anestesi gigi dan pembedahan di Hartford, Connecticut pada tahun 1846. Saat ini anestesi rawat jalan telah banyak berkembang dan telah hadir Konsensus SAMBA tahun 2015 untuk penanganan mual dan muntah pascabedah untuk kasus-kasus anestesi ambulatori. 

    Pendahuluan

    Anestesi ambulatori modern dimulai dengan menggunakan nitrogen oksida pada anestesi gigi dan pembedahan di Hartford, Connecticut pada tahun 1846. Sebelumnya nitrogen oksida telah diperkenalkan oleh Horace Wells. Pada tahun 1868, Edmund Andrew, seorang dokter bedah dari Chicago, mendapatkan hipoksemia pada penggunaan nitogen oksida, sehingga dia menyarankan penambahan oksigen pada nitrogen oksida agar memberikan hasil yang aman.1,2


    Pada tahun 1950, minat terhadap pembedahan ambulatori di Kanada meningkat karena sebagian rumah sakit kekurangan tempat tidur dan meningkatnya biaya rawat inap, dimana pembedahan hernia menjadi populer untuk bedah ambulatori. Tahun 1960 John Dillon dan David Cohen mengembangkan pelayanan pembedahan ambulatori di Universitas California, Los Angeles (UCLA). Dillon dan Cohen terdorong karena pembedahan ambulatori lebih murah dibandingkan dengan rawat inap. Pada tahun 1996, sekitar 66% dari pembedahan elektif di Amerika Serikat dilakukan dengan prosedur ambulatori. Saat ini diperkirakan 20-40% dari seluruh pembedahan dapat dilakukan secara ambulatori.1,2


    Perkembangan Anestesi Rawat Jalan


    Jumlah pembedahan rawat jalan telah meningkat dengan signifikan karena perbaikan teknik anestesi, seperti anestesi regional, dan ketersediaan agen anestesi dengan injeksi ultrashort dengan efek samping yang berkurang. Kriteria rawat jalan yang lebih baik dan teknik bedah minimal invasif juga berperan meningkatkan jumlah pembedahan rawat jalan. Kematian dan morbiditas yang terkait langsung dengan pembedahan rawat jalan memiliki insidensi yang sangat rendah dan ada beberapa keuntungan penting pembedahan rawat jalan jika dibandingkan dengan pembedahan rawat inap, seperti pembatalan yang lebih rendah, pengurangan waktu tunggu, biaya rumah sakit, dan risiko infeksi nosokomial.3,4


    Pada awalnya, pembedahan rawat jalan kurang diperhatikan, namun pada tahun 1960an mulai menonjol bersamaan dengan anestesi ambulatori di rumah sakit umum. Pada tahun 1985, Society of Ambulatory Anesthesia (SAMBA) didirikan, dan pada tahun 1995, International Association of Ambulatory Surgery (IAAS) didirikan oleh ahli bedah, ahli anestesi, perawat, dan manajer rumah sakit. Sejak saat itu, penggunaan anestesi ambulatori telah meningkat dengan cepat; Sekarang, 65-70% dari semua pembedahan di Amerika Serikat dilakukan secara ambulatori.3,4


    Pembedahan rawat jalan dapat berjalan sukses jika pasien dan prosedurnya sesuai dengan prinsip anestesi ambulatori. Kelebihan pembedahan rawat jalan tidak dapat dilakukan jika terjadi keadaan darurat atau penerimaan masuk rumah sakit yang tidak direncanakan. Dengan demikian, pasien yang berniat menjalani pembedahan rawat jalan harus mempertimbangkan berbagai potensi risiko yang ada. Perhatian utama dalam pembedahan rawat jalan pada akhirnya adalah kesehatan pasien dan potensi efek sampingnya. Jadi, ketika memutuskan pembedahan rawat jalan, penting untuk mengevaluasi kondisi pasien secara keseluruhan, termasuk riwayat medis dan riwayat keluarga mereka yang lalu, serta jenis pembedahan. Pilihan metode anestesi didasarkan pada pembedahan, faktor pasien, dan kemungkinan komplikasi. Namun, mengingat bahwa pada pembedahan rawat jalan, pasien pulang pada hari pembedahan, pemulihan pasien mungkin merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan metode anestesi. Pengobatan profilaksis dan aktif harus dilakukan untuk meminimalkan komplikasi, seperti nyeri pascabedah, mual, dan muntah, yang dapat menunda pemulangan dan meningkatkan kemungkinan perawatan kembali ke rumah sakit yang tidak diantisipasi selama periode perioperatif. Pada tulisan ini akan dibahas pemilihan pasien, metode anestesi, dan manajemen untuk anestesi ambulatori yang efektif.3,4,5


    Definisi Anestesi Rawat Jalan (Ambulatori)

    Anestesi ambulatori adalah pelayanan anestesia untuk pembedahan, yang secara medis diduga tidak akan memerlukan perawatan menginap pascabedah. Dalam bahasa Indonesia, ambulatory anesthesia disamakan dengan pengertian anestesi tanpa rawat inap atau ODC (One-day Care).6


    Beberapa faktor yang mendorong perkembangan anestesi ambulatori.6

    1. Makin meningkatnya biaya perawatan (rawat inap) di rumah sakit. Anestesi ambulatori dapat menekan biaya perawatan dan pengobatan sampai 40-80%
    2. Jumlah tempat tidur di rumah sakit makin terbatas, dibanding dengan pertambahan penduduk.
    3. Pengadaan rumah sakit dengan segala sarananya memerlukan biaya besar.
    4. Mengurangi dan mencegah risiko infeksi nosokomial.
    5. Mempersingkat terpisahnya pasien (terutama anak-anak) dengan keluarga atau kenalannya.
    6. Menumpuknya jadwal pembedahan.

    Meningkatnya persentase prosedur anestesi ambulatori mengindikasikan prosedur penanganan pasien yang lebih singkat, termasuk di dalamnya lama perawatan serta stimulasi pembedahan.6


    Pertimbangan dalam Anestesi Ambulatori

    Tindakan anestesi ambulatori tidak bergantung pada tersedianya tempat tidur sebuah rumah sakit. Prosedur ini juga memungkinkan pasien untuk memilih tanggal pelaksanaan pembedahan sesuai keinginannya. Tidak semua tindakan atau pasien dapat ditanggulangi secara ambulatori. Terdapat syarat-syarat untuk tindakan ambulatori yaitu sesuai kriteria pasien, pembedahan, obat anestesi.7,8

    1. Kriteria Pasien
      • Sehat, termasuk status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) 1 atau ASA 2 dengan penyakit atau kelainan sistemik yang terkendali.
      • Tidak ada riwayat pascabedah atau anestesia yang kurang baik, misalnya mual atau muntah yang lama atau nyeri pascabedah yang sulit ditanggulangi dengan analgetik oral.
      • Walaupun umur tidak merupakan faktor seleksi mutlak, namun pasien dewasa muda dan anak (kecuali bayi prematur di bawah 6 bulan) lebih dapat diterima.
      • Pasien mengerti dan memahami instruksi prabedah dan pascabedah atau anestesia.
      • Tempat tinggal pasien tidak jauh dari rumah sakit (tidak lebih dari 1 jam perjalanan).
      • Keinginan pasien sendiri.
    2. Kriteria Pembedahan
      • Lama pembedahan tidak melebihi 60 menit. Pembedahan yang terlalu lama akan menimbulkan efek akumulasi anestetik sehingga masa pulih sadar pasien juga berlangsung lama.
      • Pembedahan superfisial, bukan tindakan bedah di dalam kranium, toraks, atau abdomen (kecuali laparoskopi).
      • Tidak memerlukan pelemas otot yang sempurna.
      • Tidak banyak menimbulkan perubahan fisiologis.
      • Diduga tidak menyebabkan banyak perdarahan.
      • Kemungkinan komplikasi pascabedah rendah sekali.
    3. Syarat Obat Anestesi
      • Induksi cepat dan lancar.
      • Analgesia dan anestesia cukup baik.
      • Cukup dalam untuk pembedahan.
      • Masa pulih sadar cepat.
      • Komplikasi anestesia pascabedah minimal (mual, muntah, nyeri kepala, hipoksia).

    Pembedahan yang sering dijadwalkan untuk dilakukan secara ambulatori adalah bedah minor atau prosedur dengan durasi kurang dari 60 menit. Ada beberapa prosedur bedah yang dapat dilakukan secara ambulatori.9

    1. Mata: reseksi otot-otot ekstraokular, ekstraksi katarak, eksisi khalazion, reparasi ptosis, koreksi strabismus, pemeriksaan mata yang memerlukan anestesi, sumbatan duktus nasolakrimalis.
    2. THT: tonsilektomi, adenoidektomi, antrostomi, mikrolaringoskopi, miringotomi, polipektomi nasalis, rinoplasti, bronkoskopi.
    3. Bedah umum: biopsi, ekstirpasi tumor superficial, mammoplasti, hemoroidektomi, herniorafi, insisi dan drainase abses, stripping vena varises, sigmoidoskopi, endoskopi.
    4. Kebidanan: biopsi, dilatasi dan kuretase, marsupialisasi, kista bartholini, laparoskopi.
    5. Ortopedi: reposisi tertutup, eksotektomi, ganglionektomi, bedah minor di lengan dan kaki, dekompresi carpal tunnel.
    6. Urologi: Sirkumsisi, sistoskopi, frenulektomi, meatotomi, orkhidopeksi, vasektomi.
    7. Plastik: prosedur kosmetika seperti pengangkatan keloid, blefaroplasti, otoplasti.


    Pertimbangan Preanestesi

    Selain penilaian medis secara umum, ada juga area spesifik yang harus ditangani, termasuk riwayat anestesi dan mual dan muntah pascabedah (PONV) penilaian jalan nafas berisiko juga harus dilakukan.10-12


    Riwayat Anestesi

    Penting untuk mengetahui masalah terkait anestesi, seperti suxamethonium (succinylcholine) apnea, hipertermia maligna dan komplikasi terkait lainnya, dan memeriksa riwayat keluarga yang relevan. Komplikasi semacam itu bukanlah kontraindikasi mutlak, namun persiapan tambahan mungkin diperlukan jika ada. Ada kemungkinan hipersensitivitas maligna (<1%) bahkan setelah pemberian agen anestesi yang bukan pemicu, direkomendasikan pemantauan suhu pascabedah minimal 4 jam.10


    Risiko PONV

    PONV adalah komplikasi anestesi yang paling umum dan risikonya sangat bervariasi sesuai dengan metode anestesi. Dalam evaluasi prabedah, bermanfaat untuk mengevaluasi risiko PONV dengan menggunakan empat faktor risiko Apfel (jenis kelamin wanita, riwayat PONV dan / atau penyakit vomiting, status bebas rokok, dan penggunaan opioid pascabedah). Hal ini memungkinkan untuk mengklasifikasikan pasien menjadi kelompok berisiko untuk perencanaan anestesi yang lebih baik.11


    Penilaian Jalan Napas

    Untuk memprediksi intubasi jalan napas yang sulit, pemeriksaan jalan napas prabedah harus dilakukan. Beberapa kelompok pasien tertentu, seperti OSA dan obesitas, berisiko lebih tinggi terkena komplikasi anestesi, namun pemilihan pasien dan pengobatan yang tepat dapat mencegah komplikasi terkait jalan nafas. Perangkat supraglottik harus dievaluasi dengan seksama untuk menentukan peran manajemen jalan napas rutin dan darurat dalam pengaturan rawat jalan.12


    Pertimbangan Khusus

    Populasi Lanjut Usia

    Seiring bertambahnya usia dan kenaikan populasi, jumlah dan tingkat keparahan komplikasi medis yang memerlukan obat kardiovaskular juga meningkat. Namun, usia sendiri tidak boleh digunakan untuk menentukan kelayakan pembedahan rawat jalan. Penilaian prabedah harus dilakukan untuk menentukan apakah ada kriteria pengecualian untuk pembedahan rawat jalan. Pasien rawat jalan yang lebih tua membutuhkan lebih banyak pengawasan setelah dipulangkan dan masalah sosial, seperti kemandirian pasien, mobilitas, dan isolasi keluarga atau sosial, harus dipertimbangkan untuk populasi ini. Disfungsi kognitif pascabedah mungkin lebih baik ditangani di rumah, di lingkungan yang akrab, untuk memungkinkan pemulangan yang lebih cepat setelah pembedahan rawat jalan.13


    Obstructive Sleep Apnea (OSA)

    Di antara pasien dengan OSA, diketahui mempunyai risiko komplikasi perioperatif tinggi. Namun, bukti dari tinjauan sistematis baru-baru ini menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan risiko morbiditas atau mortalitas pada pasien dengan OSA yang menjalani pembedahan rawat jalan. Berdasarkan bukti ini, sebuah pernyataan konsensus oleh SAMBA, pasien dengan diagnosis OSA yang diketahui yang biasanya menjalani terapi tekanan udara positif kontinyu (CPAP), dapat dioptimalkan, dan selama periode pascabedah, perangkat CPAP dapat digunakan. Jika OSA belum didiagnosis, tanda dan gejala harus diperiksa selama evaluasi pada kelompok berisiko tinggi.14,15


    Teknik Anestesi untuk Prosedur Ambulatori

    Penilaian preoperatif dan optimalisasi penyakit penyerta berhubungan dengan outcome perioperatif. Selain itu juga dapat mencegah penundaan atau pembatalan pada hari pembedahan. Demikian halnya dengan seleksi pasien, merupakan hal yang sangat penting dalam mencegah komplikasi perioperatif serta meningkatkan outcome. Seleksi pasien untuk prosedur ambulatori bergantung pada banyak faktor, termasuk faktor yang berhubungan dengan pasien itu sendiri (misalnya adanya penyakit penyerta dan derajat penyakit tersebut), faktor yang berhubungan dengan pembedahan (misalnya seberapa invasif jenis pembedahan, pengalaman operator), faktor yang berhubungan dengan anestesi (misalnya teknik anestesi), faktor yang berhubungan dengan sarana (rumah sakit).16,17


    Suatu teknik anestesi yang ideal harus memenuhi kriteria yaitu onset yang cepat dan smooth, memberikan kondisi pembedahan yang optimal, pemulihan yang cepat, efek samping minimal atau tidak ada. Pemilihan teknik anestesi merupakan faktor penting terhadap pemulihan setelah tindakan bedah ambulatori. Penggunaan teknik anestesi lokal termasuk blok saraf perifer dengan atau tanpa sedasi/ analgesia mampu memberikan pemulihan yang cepat, mengurangi waktu kesiapan untuk pulang, memberikan analgesia pascabedah, serta mengurangi kebutuhan opioid.16,17


    Walaupun begitu, penggunaan teknik anestesi spinal akan memperpanjang masa pemulihan di postanesthesia care unit (PACU) bahkan tertundanya waktu untuk pulang ke rumah dan memanjangnya waktu kesiapan untuk pulang. Oleh sebab itu, di saat peran anestesi lokal/ blok saraf perifer meningkat, di sisi lain peran anestesi spinal terhadap prosedur ambulatori mulai berkurang.16,17


    Tidak ada data yang menyebutkan mengenai teknik anestesi umum mana yang lebih superior (misalnya anestesi inhalasi atau total intravenous anesthesia) yang diukur dari waktu pemulangan ke rumah setelah tindakan pembedahan. Keunggulan teknik TIVA adalah mampu memberikan anestesi umum tanpa harus menggunakan mesin anestesi. Sedangkan keunggulan anestesi inhalasi adalah mengurangi kebutuhan agen pelumpuh otot sehingga mengurangi potensi efek residunya.16,17


    Kedalaman anestesi harus disesuaikan dengan tindakan pembedahan. Karena jenis insisi yang berbeda akan menimbulkan respon hemodinamik yang berbeda pula, sehingga pemberian agen anestetik dan analgetik harus disesuaikan dengan tingkatan pembedahan. Anestesi yang terlalu dalam akan menyebabkan tertundanya waktu pemulihan.16,17


    Anestesi Umum

    Tidak ada teknik anestesi yang dianggap paling ideal dibanding teknik yang lainnya untuk tindakan anestesi ambulatori. Walaupun beberapa penulis mengesampingkan efek anestesi terhadap kesiapan untuk pulang ke rumah, suatu anestesi umum dikatakan ideal untuk tindakan anestesi ambulatori.18,19

    1. Onset yang cepat dan smooth
    2. Efek sedasi, hipnosis, amnesia, analgesia, relaksasi adekuat
    3. Efek samping intraoperatif minimal atau tidak ada (misalnya instabilitas kardiovaskuler, depresi respirasi, gerakan spontan, aktivitas eksitasi)
    4. Pemulihan cepat tanpa efek samping perioperatif
    5. Memberikan efek residu analgesia beberapa saat pascabedah
    6. Ekonomis

    Efek residual agen anestestetik, mual dan muntah, nyeri berat merupakan hal-hal yang dapat menjadi penyulit pada periode pascabedah. Efek samping yang terjadi pascabedah menyebabkan pemanjangan lama perawatan. Agen pelumpuh otot suksinilkolin memiliki onset yang cepat serta durasi yang singkat. Walaupun demikian, suksinilkolin tidak cocok digunakan pada prosedur anestesi ambulatory mengingat tingginya insiden succinylcholine-induced myalgia (45%-85%). Bahkan dengan pemberian pretreatment pelumpuh otot non depolarisasi dosis kecil sebelum pemberian suksinilkolin dilaporkan tidak mengurangi insiden succinylcholine-induced myalgia tersebut, dimana insidennya dilaporkan berkisar 20%-70%.18,19


    Peran opioid pada prosedur ambulatori masih kontroversial karena efek samping yang dapat ditimbulkan, terutama mual dan muntah. Pemberian morfin dosis tunggal saja dapat menimbulakn efek mual dan muntah pascabedah. Namun perlu diingat bahwa nyeri pascabedah itu sendiri merupakan penyebab mayor timbulnya mual dan muntah, sehingga opioid dapat berfungsi sebagai anti emetik saat diberikan untuk menangani nyeri. Banyak penelitian yang telah menunjukkan penggunaan fentanyl dan alfentanyl pada prosedur ambulatori. Walaupun begitu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa menghindari penggunaan opioid secara nyata menghilangkan keluhan mual dan muntah sehingga asupan oral dapat segera diberikan pascabedah.19


    Beberapa agen anestesi memiliki keuntungan yang signifikan dalam hal onset cepat, analgesia dan amnesia yang baik, kondisi pembedahan yang baik, serta pemulihan yang cepat. Agen-agen tersebut termasuk golongan hipnotik sedasi seperti propofol; analgetik seperti remifentanil, alfentanil, ketorolac, tenoxicam; pelumpuh otot seperti mivacurium, rocuronium, rapacuronium; serta agen inhalan seperti desfluran dan sevofluran. Agen-agen tersebut agak mahal dan ketersediannya sangat sulit ditemukan di daerah dengan ekonomi yang lemah.19


    Manajemen Jalan Napas

    Peralatan supralaringeal seperti laryngeal mask airway (LMA) semakin banyak digunakan sebagai perlatan jalan napas pada tindakan anestesi umum untuk prosedur bedah elektif. Dibandingkan dengan tracheal tube, LMA tidak memerlukan agen pelumpuh otot dan laringoskopi, oleh karena itu dapat terhindar dari komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan intubasi endotrakhea. LMA lebih dapat digunakan dengan agen anestesi konsentrasi rendah dibandingakan dengan tracheal tube sehingga lebih memungkinkan untuk dilakukan titrasi konsentrasi agen anestesi sesuai dengan kebutuhan pembedahan. Jika pasien bernapas spontan, kebutuhan opioid dapat dinilai dari frekuensi napas sementara kebutuhan agen hipnotik sedatif dapat dititrasi berdasarkan monitor fungsi otak. Hal ini memungkinkan fase emergence lebih cepat sehingga meningkatkan efisiensi perioperatif. Walaupun keamanan LMA pada pasien sehat sudah cukup terjamin, namun penggunaannya pada pasien dengan risiko tinggi regurgitasi (misal: pasien dengan penyakit gastroesophageal reflux, morbid obesitas, laparoskopi, prosedur litotomi atau prone) masih kontroversi.19,20


    Anestetik Inhalasi

    Anestetik inhalan terpilih untuk prosedur ambulatori masih menjadi perdebatan. Walaupun perbedaan klinis antara desflurane dan sevoflurane dalam hal waktu kesiapan untuk pemulangan sangatlah sedikit, namun banyak penelitian yang merlaporkan adanya periode emergence yang lebih cepat pada penggunaan desflurane. Sebuah penelitian acak menyimpulkan bahwa dengan penggunaan desfluran didapatkan waktu ekstubasi yang lebih singkat dibandingkan dengan pada penggunaan sevoflurane.21


    Walaupun penggunaan nitrous oxide (N2O) dapat mengurangi kebutuhan agen analgetik, namun penggunaannya masih dipertanyakan mengingat tingginya insiden postoperative nausea and vomiting (PONV) serta adanya efek penekanan akibat ekspansi rongga-rongga tertutup. Walaupun demikian, arti klinis dari efek samping tersebut dalam praktik anestesi modern patut dipertanyakan. Sebuah penelitian menilai efek emetik N2O, dimana perbedaan efek keseluruhan dari tidak digunakannya N2O terhadap insiden PONV sangatlah sedikit (33% vs 27%). Sebagai tambahan, induksi dengan propofol serta pemberian profilaksis antiemetik yang merupakan prosedur standar untuk tindakan ambulatori dapat meniadakan efek emetik dari N2O. Keuntungan lain dari N2O adalah dapat memberikan periode emergence yang cepat. Selain itu, efek analgetiknya mengurangi pemakaian opioid sehingga mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh opioid. N2O juga terbukti mengurangi opioid induced hyperalgesia serta mengurangi nyeri pascabedah persisten.19


    Pelumpuh Otot

    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak pasien yang diobservasi di post anesthesia care unit (PACU) mengalami residual paralysis, dimana seseorang dikatan mengalami residual paralysis apabila rasio train-of-four (TOF) < 0,9 walaupun tempak telah pulih dari efek blokade pelumpuh otot. Residual paralysis dapat meningkatkan insiden kegawatan respirasi di PACU serta memperpanjang masa pemulihan dan meningkatnya mortalitas serta mortalitas pascabedah. Langkah awal untuk mengurangi insiden residual paralysis adalah menggunakan pelumpuh otot dosis terkecil yang memberikan kondisi pembedahan yang optimal.23,24


    Banyak ahli anestesi yang lebih memilih pemberian agen inhibitor antikolinesterase di akhir tindakan anestesi daripada melakukan metode kuantitatif yaitu dengan mengamati fungsi neuromuskuler. Pemberian neostigmin yang tidak hati-hati (misalnya diberikan pada saat TOF > 0,9) dapat memicu terjadinya paralysis oleh karena neostigmin itu sendiri juga memiliki efek pelumpuh otot. Oleh karena itu, pemberian rutin neostigmin dosis penuh tidak perlu dilakukan. Pemberian inhibitor antikolinesterase harus dilakukan dengan metode titrasi. Pemantauan TOF pada nervus ulnaris di pergelangan tangan sebaiknya dilakukan untuk menentukan dosis neostigmin yang akan diberikan. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa pemberian neostigmin berdasarkan pemantauan TOF pada otot mata memiliki risiko mengalami residual paralysis pascabedah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan pemantauan pada otot adductor pollicis.23,24


    Dosis neostigmin untuk reversal berdasarkan pemantauan TOF pada nervus ulnaris adalah sebagai berikut:

    1. TOF 4 tanpa fade : neostigmin 20 mcg/kgBB, berat badan ideal
    2. TOF 4 dengan fade : neostigmin 30 mcg/kgBB, berat badan ideal
    3. TOF 3 : neostigmin 40 mcg/kgBB, berat badan ideal
    4. TOF 2 : neostigmin 50 mcg/kgBB, berat badan ideal
    5. TOF 1 : neostigmin 60 mcg/kgBB, berat badan ideal
    6. Tidak ada respon TOF : tunda pemberian neostigmin


    Anestesi Regional

    Anestesi regional dapat memberikan analgesia preemtif. Teknik ini mengurangi bahaya dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh anestesi umum, seperti nyeri tenggorokan, trauma jalan napas, serta nyeri otot. Blokade regional dapat digunakan sendiri ataupun dikombinasikan dengan teknik sedasi, atau dapat merupakan bagian dari balans analgesia dengan anestesi umum. Diharapkan metode dan agen-agen yang digunakan pada teknik anestesi regional untuk prosedur ambulatory memiliki sifat yang menyerupai obat-obatan anestesi umum untuk prosedur yang sama, yaitu onset cepat, anestesi yang adekuat untuk pembedahan, kriteria pemulangan seperti ambulasi dan berkemih cepat tercapai.25,26


    Keuntungan dari anestesia regional adalah:

    1. Keuntungan bagi pasien:
      • Terhindar dari anestesi umum yang sering dikaitkan dengan berbagai komplikasi.
      • Insiden mual dan muntah pascabedah minimal.
      • Memperbaiki pemulihan nyeri pascabedah.
      • Mempersingkat waktu pemulihan.
      • Mampu berkomunikasi dengan tim bedah selama pembedahan.
      • Mobilisasi lebih cepat
    2. Keuntungan bagi ahli bedah:
      • Memungkinkan untuk melakukan penilaian yang akurat sebelum mengakhiri tindakan pembedahan.
      • Memungkinkan untuk berdiskusi tentang temuan serta pilihan tindakan intra operatif.
    3. Keuntungan bagi rumah sakit:
      • Pasien dapat langsung ditransfer ke ruang pulih sadar.
      • Mempersingkat waktu pemantauan di ruang pulih sadar.
      • Mengurangi kebutuhan perawatan pascabedah.
      • Secara keseluruhan mengurangi pembiayaan untuk fasilitas kesehatan.


    Sedangkan kerugian dari anestesi regional adalah:

    1. Prosedur pembedahan menjadi lebih lama karena:
      • Diskusi dengan pasien
      • Prosedur blok memakan waktu lebih lama dibandingkan anestesi umum
      • Onset anestesi lebih lambat
      • Penanganan harus lebih hati-hati
      • Blok yang tidak komplit mengharuskan suplementasi atau konversi ke anestesi umum.
    2. Perlu kerjasama yang baik dengan operator dan pasien.
    3. Risiko adanya komplikasi postspinal headache
    4. Blokade memanjang yang dapat menyebabkan retensi urine dan tertundanya pemulangan pasien.


    Modifikasi teknik anestesi spinal yang ada dan munculnya obat baru yang digunakan sebagai ajuvan untuk anestesi lokal telah membuat anestesi regional menjadi pilihan yang tepat untuk pembedahan penitipan anak. Analgesia epidural atau analgesik dosis rendah dimungkinkan dengan dosis anestesi lokal dosis rendah saat opioid dan adjuvant lainnya. Teknik anestesi spinal unilateral atau dosis rendah memberikan karakteristik pemulihan yang sebanding dengan anestesi umum dengan anestesi inhalasi yang lebih baru.37


    Peningkatan penggunaan jarum spinal dengan ukuran yang lebih kecil dan konsep anestesi spinal dosis rendah telah membuktikan anestesi dan karakteristik pemulihan yang serupa bila dibandingkan dengan anestesi umum yang menggunakan desfluran, sevofluran, dan nitrous oxide. Penggunaan jarum spinal dengan ukuran lebih kecil dari 25 telah secara signifikan mengurangi kejadian sakit kepala tusukan postdural (PDPH) pada pasien anestesi ambulatori sehari-hari.37


    Pengenalan agen anestesi lokal yang lebih baru seperti ropivacaine dan levobupivacaine hampir menghilangkan risiko gejala neurologis sementara yang sering ditemui dengan lignokain, procaine, dan mepivacaine. Kriteria pemulangan setelah pembedahan pada pasien tersebut harus mencakup tingkat sensoris kembali pada dermatom S4-5, skala Bromage setara dengan tingkat prabedah.37


    Monitoring Anesthesia Care (MAC)

    MAC adalah metode di mana pasien diberi anestesi melalui suntikan obat analgetik dan sedatif intravena. MAC sering digunakan bersamaan dengan anestesi infiltrasi lokal dan blok saraf perifer. MAC dapat meningkatkan kepuasan pasien dan memperpendek waktu pemulihan dibandingkan dengan anestesi umum atau blok neuraksial. Baru-baru ini, propofol, ketamin dosis rendah, dan dexmedetomidine telah digunakan lebih banyak karena dapat mengurangi timbulnya depresi pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan sedatif-analgesik. Karena depresi pernapasan disebabkan oleh sedasi yang berlebihan, perhatian khusus harus diberikan oleh staf yang melakukan pembedahan rawat jalan.26


    Infiltrasi Obat Anestesi Lokal (LA)

    LA telah digunakan dengan manfaat analgesia pascabedah, baik sendiri atau dengan adjuvant. LA yang dikelola melalui kateter juga efektif namun terbatas. katerisasi jangka panjang untuk pengiriman LA membawa risiko infeksi. Manfaat juga terlihat saat pasien yang diberikan LA disuntikkan ke dalam jaringan selama pembedahan dalam volume yang lebih besar. Penggunaan dosis tunggal LA, yang merupakan praktik umum, memberikan durasi analgesia yang lebih pendek namun merupakan metode ekonomis. Munculnya formulasi lama dari LA (liposomal bupivacaine, dll.) Mungkin memiliki potensi untuk memperpanjang efek. Beberapa efek samping, terutama dengan dosis LA yang lebih besar dari biasanya, dapat dikaitkan dengan toksisitas. Injeksi bupivakain intraartikuler yang berkepanjangan dalam konsentrasi yang lebih tinggi dapat dikaitkan dengan risiko chondrotoxicity. Analgesia infiltrasi luka dapat diberikan dengan penggunaan dosis yang tepat namun volume yang cukup sebagai bagian dari teknik analgesik multimodal.36


    Dalam sebuah penelitian baru-baru ini. Infus ropivakain terus menerus dibandingkan dengan analgesia dosis konstan IV dengan axetil flurbiprofen, pentazocine dan palonosetron pada pembedahan tulang belakang thoracolumbar, dan hasil yang dinilai adalah PONV akut dan adanya nyeri kronis pada 3 bulan. Pada kelompok pasien yang menerima ropivacaine, tidak hanya menurunkan kejadian PONV secara signifikan namun pasien ini juga memiliki kejadian nyeri kronis yang kurang signifikan pada 3 bulan.36


    Kontroversi dalam Metode Anestesi

    1. Total anestesi intravena (TIVA) dan anestesi inhalasi

      Keuntungan dari anestesi TIVA dibandingkan inhalasi telah dibahas sebelumnya. TIVA dalam pembedahan rawat jalan sangat menguntungkan karena pemulihan yang cepat, tanpa gangguan agitasi atau perilaku, dan insiden PONV yang rendah. Ini juga membantu menghindari pencemaran lingkungan, dan menurunkan kemungkinan terjadinya hipertermia maligna. Namun, literatur tidak memberikan bukti kuat untuk keuntungan satu metode atau metode lainnya dalam memperbaiki profil pemulihan dan fungsi kognitif.

    2. Anestesi umum versus anestesi regional

      Penelitian berskala besar telah menunjukkan bahwa anestesi regional memiliki tingkat morbiditas lebih rendah daripada anestesi umum.


    Pencegahan Komplikasi Pascabedah

    Salah satu tujuan utama dari teknik anestesi yang ideal adalah pencegahan komplikasi pascabedah, khususnya nyeri, mual, dan muntah. Komplikasi pascabedah lain yang dapat mengganggu proses pemulihan adalah perubahan kardiovaskular (hipotensi, hipertensi, gangguan irama jantung), komplikasi respirasi (obstruksi jalan napas, hipoventilasi, bronkospasme, aspirasi paru), suhu abnormal, serta komplikasi akibat pembedahan.27


    Manajemen nyeri

    Tujuan dari manajemen nyeri adalah meminimalisir nyeri pasien tidak hanya pada saat istirahat, namun juga saat mobilisasi dan terapi fisik. Salah satu pendekatan ideal untuk manajemen nyeri yang optimal dimulai dari edukasi pasien, dimana hal ini dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepuasan pasien.28,29


    Infiltrasi anestesi lokal pada luka pembedahan dapat memberikan analgesia yang baik dan direkomendasikan untuk penggunaan rutin. Teknik ini dapat memberikan efek analgesia sampai onset analgetik oral tercapai. Durasi analgesia dapat ditingkatkan dengan pemberian infus anestesi lokal melalui kateter intrakutan. Namun sebuah formula baru telah diperkenalkan, yaitu bupivacaine dengan teknologi liposomal, dilaporkan mampu meberikan efek analgesia selama 72 jam. Dengan adanya agen ini, makan infus anestesi lokal melalui kateter intrakutan tidak perlu dilakukan.28,29


    Beberapa penelitian sistematik melaporkan bahwa pemberian dexamethasone 4-8 mg intravena (IV) baik pre operatif maupun intra operatif dapat mengurangi nyeri pascabedah secara signifikan dan mengurangi kebutuhan opioid. Dexamethasone dosis tunggal tidak terbukti meningkatkan insiden infeksi pada luka pembedahan, namun dapat meningkatkan kadar gula darah yang bertahan sampai dengan 24 jam pascabedah.28,29


    Ketamin low-dose dilaporkan mengurangi skor nyeri pascabedah dan mengurangi konsumsi opioid serta menunda waktu pemberian opioid awal. Sebuah penelitian sistematik menyimpulkan bahwa ketamin memberikan keuntungan signifikan dalam pengelolaan nyeri pada prosedur pembedahan toraks, abdomen, serta pembedahan mayor ortopedi. Menariknya, efek analgesik ketamin tidak tergantung pada caran pemberian opioid intra operatif, waktu pemberian ketamin, seta dosis ketamin itu sendiri. Penulis juga menyimpulkan bahwa efek opioid-sparring ketamin mengurangi insiden mual dan muntah, namun dihubungkan dengan meningkatnya insiden gangguan neuropsikiatrik. Walaupun demikian, peran ketamin sebagai ajuvan pada anlgetik non opioid masih kontroversial mengingat durasi pemberian dan dosis optimal belum diketahui.28,29


    Post-Operative Nausea and Vomiting (PONV)

    PONV merupakan salah satu komplikasi yang dapat menunda waktu pemulihan. Oleh karena itu, profilaksis dengan multimodal antiemetic harus digunakan pada semua prosedur ambulatori. Jumlah kombinasi antiemetik yang akan digunakan dapat didasarkan pada tingkatan risik pasien dan jenis prosedur pembedahan. Kombinasi dexamethasone 4-8 mg IV (setelah induksi anestesi) dan ondansetron 4 mg IV (menejelang selesainya pembedahan) dapat digunakan pada kebanyakan pasien. Pasien dengan risiko tinggi terjadinya PONV (contoh: adanya riwayat motion sickness, riwayat PONV, membutuhkan opioid dalam jumlah besar) dapat diberikan terapi antiemetik tambahan seperti scopolamine transdermal maupun aprepitant oral preoperatif. Dalam sebuah penelitian sistematik, didapatkan bahwa metoklopramid 10 mg IV efektif dalam mencegah PONV, sehingga metoklopramid dikatakan merupakan obat alternatif untuk mencegah PONV.30,31


    Postdischarge nausea and vomiting (PDNV) merupakan komplikasi berat yang dapat terjadi pada pasien ambulatori. Faktor-faktor risiko terjadinya PDNV adalah jenis kelamin perempuan, usia kurang dari 50 tahun, riwayat mengalami PONV, menggunakan opioid di PACU, serta adanya mual saat berada di PACU.30,31


    Pemulangan Pasien

    Seiring dengan semakin berkembangnya prosedur ambulatori, kriteria pemulangan pasien juga semakin dikembangkan untuk menjamin keamanan pasien. Oleh karena meningkatnya jumlah pasien yang menjalani prosedur ambulatori, bertambahnya angka harapan hidup (populasi usia lanjut meningkat), serta meluasnya kriteria inklusi untuk tindakan ambulatori, sehingga evidence-based kriteria pemulangan pasien dianggap perlu dalam praktek klinis.32,33


    Sistem penilaian Aldrete, yang merupakan modifikasi dari sistem penilaian Apgar yang dipakai untuk menilai bayi yang baru lahir, telah digunakan di PACU sejak diperkenalkan sekiat 45 tahun yang lalu. Sistem ini didesain untuk menilai transisi pasien dari pemulihan fase I ke fase II, dari saat akhir anestesi sampai kembalinya reflex proteksi dan fungsi motorik. Pada kebanyakan institusi, pemulihan fase I terjadi saat pasien berada di PACU. Ketika fase I selesai, homeostasis kembali normal. Untuk menilai transisi dari fase II ke fase III, digunakan post anesthetic discharge scoring system (PADSS) yang dibuat oleh dr. Frances Chung pada tahun 1991. Pemulihan fase II dianggap selesai ketika pasien telah siap untuk pulang ke rumah. Pemulihan fase III dilanjutkan di rumah di bawah pengawasan anggota keluarga yang telah dewasa dan dianggap bertanggung jawab sampai fungsi fisik dan psikologis pasien kembali seperti sebelum pembedahan.32,33


    Baik sistem Aldrete maupun PADSS mengevaluasi 5 parameter untuk meyakinkan keamanan pasien untuk transfer atau pemulangan pascabedah. Pasien dengan skor 9 atau 10 dianggap siap untuk dipindahkan atau dipulangkan. Walaupun sistem Aldrete dan PADSS merupakan sesuatu yang terpercaya, namun tidak dapat menggantikan pertimbangan kritis dari seorang dokter. Sebagai contoh, seorang pasien telah memenuhi semua kriteria untuk transfer ataupun pemulangan, namun dokter menganggap perlu untuk tinggal selama beberapa jam karena dianggap berisiko terjadi malignant hyperthermia, maupun kondisi-kondisi lainnya yang dianggap berisiko untuk memulangkan pasien.32,33


    Tabel 1. Discharge Scoring System

    Sistem Aldrete PADSS
    Respirasi
      Mampu bernapas dalam dan batuk = 2
      Dispnea/ napas dangkal = 1
      Apnea = 0

    Saturasi O2
      > 92% dengan room air = 2
      Perlu suplemen O2 untuk mempertahankan saturasi > 90% = 1
      Saturasi O2 90% walaupun dengan suplementasi O2 = 0

    Kesadaran
      Sadar penuh = 2
      Berespon terhadap suara = 1
      Tidak ada respon = 0

    Sirkulasi
      Tekanan darah ± 20 mmHg pre op = 2
      Tekanan darah ± 20-50 mmHg pre op = 1
      Tekanan darah ± 50 mmHg pre op = 0

    Aktivitas
      Mampu menggerakkan 4 ekstremitas = 2
      Mampu menggerakkan 2 ekstremitas = 1
      Tidak mampu menggerakkan ekstremitas = 0
    Tanda-tanda vital (tekanan darah dan heart rate)
      < 20 % dari pre op = 2
      20-40 % dari pre op = 1
      > 40% pre op = 0

    Aktivitas
      Mampu berjalan, tidak pusing = 2
      Butuh bantuan = 1
      Tidak mampu berdiri = 0

    Mual dan muntah
      Minimal/teratasi dengan obat oral = 2
      Sedang/terastasi dengan obat injeksi = 1
      Berat/ berlanjut walau dengan pengobatan = 0

    Nyeri
    Terkontrol dengan analgetik oral dan dapat diterima oleh pasien
        Ya = 2
        Tidak = 1

    Perdarahan
      Minimal/ tidak ganti balutan = 2
      Sedang/ mengganti balutan 2 kali = 1
      Berat/ mengganti balutan > 3 kali = 0


    Dikutip dari: Ead H. From Aldrete to PADSS: reviewing discharge criteria after ambulatory surgery. J Perianesth. 2006;21(4):259-67.


    Asupan Oral dan Berkemih Sebelum Pemulangan

    Mengharuskan pasien untuk dapat makan/ minum ataupun berkemih sebelum pemulangan tidaklah menjadi suatu syarat, dan hanya akan menyebabkan penundaan pemulangan pasien. Pasien yang belum dapat berkemih pascabedah, belum ada keinginan untuk buang air, tidak ada distensi kandung kemih, atau tidak berisiko terjadi retensi urin dapat dipulangkan ke rumah dengan panduan yang jelas ataupun dengan pendampingan seorang tenaga kesehatan. Pasien-pasien yang dianggap berisiko untuk terjadinya retensi urin adalah pasien yang menjalani prosedur bedah sistem genitourinarius, prosedur rectal atau urologi, hernia, dilakukan pemasangan kateter perioperatif, memiliki riwayat retensi urin, atau mendapatkan teknik anestesi neuraxial. Pasien-pasien tersebut diangap perlu untuk berkemih terlebih dahulu sebelum dipulangkan ke rumah.34


    Baik anestesi neuraksial maupun anestesi umum dapat mempengaruhi fungsi otot detrusor dan menyebabkan retensi urin. Saat vesica urinaria mengalami distensi sedangkan anestesia memblokade kerja otot detrusor, fungsi berkemih dapat terganggu. Pemilihan opioid pada teknik anestesi spinal merupakan salah satu faktor terjadinya retensi urin. Opioid hidrofilik seperti morfin dapat menyebabkan retensi urin, sedangkan opioid lipofilik seperti fentanyl jarang menyebabkan retensi urin.34


    Pedoman Konsensus SAMBA 2015 untuk Pengelolaan Mual dan Muntah Pascabedah

    Pedoman 1. Identifikasi resiko pasien untuk PONV

    Penilaian preoperatif risiko pasien untuk PONV / PDNV adalah komponen penting dari penilaian dan edukasi pasien prabedah perawatan perianestesia. Pemahaman tentang risiko pasien terhadap PONV, dan yang lebih penting lagi, komunikasi risiko ini dengan tim dokter bedah sangat penting untuk mengurangi kejadian PONV. Sejumlah faktor risiko dikaitkan dengan peningkatan kejadian PONV. Namun, beberapa faktor ini mungkin merupakan asosiasi sederhana, dibandingkan dengan prediksi PONV.35


    Tabel 2. Faktor risiko PONV pada orang dewasa

    Komponen Faktor risiko
    Umum Jenis kelamin: wanita
    Riwayat PONV
    Tidak merokok
    Usia lebih muda
    Umum dan anestesi regional
    Penggunaan anestesi volatil dan nitrous oxide
    Postoperative opioid
    Durasi anestesi
    Jenis pembedahan
    (kolesistektomi, laparoskopi)
    Khusus Status fisik ASA
    Siklus menstruasi
    Tingkat pengalaman ahli anestesi
    Antagonis relaksan otot
    IMT
    Kecemasan
    Tabung nasogastrik
    Oksigen tambahan
    Puasa perioperatif
    Migrain


    Dikutip dari: Hooper VD. SAMBA consensus guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting: an executive summary  for perianesthesia.  J Perianesth. 2015;30(5):377-82.


    Risiko PONV dasar jika tidak ada faktor risiko yang ada adalah 10%. Risiko meningkat menjadi 20%, 40%, 60%, dan 80% untuk setiap faktor risiko tambahan.35


    Pedoman 2. Kurangi faktor risiko baseline untuk PONV

    Pedoman ini merekomendasikan 6 strategi untuk mengurangi risiko PONV awal

    1. Hindari anestesi umum dengan penggunaan anestesi regional.
    2. Propofol digunakan untuk induksi dan perawatan anestesi.
    3. Menghindari nitrous oxide.
    4. Menghindari anestesi volatile.
    5. Meminimalkan opioid intra dan pascabedah.
    6. Hidrasi yang memadai.


    Tabel 3. Skor faktor risiko PONV

    Faktor risiko Skor
    Jenis Kelamin Perempuan1
    Non-perokok1
    Riwayat PONV1
    Opioid pascabedah1


    Dikutip dari: Hooper VD. SAMBA consensus guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting: an executive summary  for perianesthesia.  J Perianesth. 2015;30(5):377-82.


    Risiko PONV dasar jika tidak ada faktor risiko yang ada adalah 10%. Risiko meningkat menjadi 20%, 40%, 60%, dan 80% untuk setiap faktor risiko tambahan.35


    Tabel 4. Skor faktor risiko post discharge nausea and vomiting (PDNV)

    Faktor risiko Skor
    Jenis Kelamin Perempuan1
    Riwayat PONV1
    Usia > 50 tahun1
    Penggunaan opioid di PACU1
    Mual di PACU1


    Dikutip dari: Hooper VD. SAMBA consensus guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting: an executive summary  for perianesthesia.  J Perianesth. 2015;30(5):377-82.


    Risiko PDNV dasar jika tidak ada faktor risiko yang ada adalah 10%. Risiko meningkat menjadi 20%, 30%, 50%, 60%, dan 80% untuk setiap faktor risiko tambahan.35


    Tabel 5. Skor faktor risiko PONV pada anak-anak

    Faktor risiko Skor
    Pembedahan > 30 menit1
    Riwayat PONV1
    Usia > 3 tahun1
    Pembedahan strabismus1
    Riwayat POV atau PONV di keluarga1


    Dikutip dari: Hooper VD. SAMBA consensus guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting: an executive summary  for perianesthesia.  J Perianesth. 2015;30(5):377-82.


    Risiko POV dasar jika tidak ada faktor risiko yang ada adalah 10%. Risiko tetap sebesar 10% untuk 1 faktor risiko dan meningkat menjadi 30%, 50%, dan 70% untuk setiap faktor risiko tambahan.35


    Pedoman 3. Berikan profilaksis PONV Menggunakan 1 sampai 2 Intervensi pada orang dewasa dengan risiko sedang untuk PONV

    Pasien yang teridentifikasi risiko sedang untuk PONV sebelum pembedahan harus menerima intervensi profilaksis dengan menggunakan maksimal 1 atau 2 agen/ intervensi. Bukti mendukung bahwa terapi kombinasi lebih efektif daripada agen farmakologis tunggal. Terapi kombinasi harus dirancang untuk memenuhi profil risiko spesifik pasien dan preferensi pribadi sekaligus menjaga efektivitas biaya dalam pikiran.35


    Pedoman 4. Memberikan terapi profilaktik dengan kombinasi (> 1) intervensi / terapi multimodal pada penderita resiko tinggi untuk PONV

    Pasien yang diidentifikasi berisiko tinggi terhadap PONV pada perioperatif harus menerima intervensi profilaksis yang melibatkan 2 atau lebih agen / intervensi dalam terapi kombinasi / pendekatan multimodal.35


    Pedoman 5. Memberikan terapi antiemetik profilaksis kepada anak-anak dengan meningkatkan risiko PONV, seperti pada orang dewasa, penggunaan terapi kombinasi paling efektif

    Tingkat PONV pada anak bisa dua kali lipat dari orang dewasa. Dengan demikian, profilaksis PONV memiliki prioritas tinggi.35


    Pedoman 6. Berikan pengobatan antiemetik kepada penderita PONV yang tidak menerima atau gagal profilaksis

    Mual dan muntah yang terjadi pascabedah harus ditangani dengan pemberian obat antiemetik dari kelas farmakologis berbeda dari pada yang diberikan untuk profilaksis. Jika tidak ada profilaksis yang diberikan, pengobatan yang direkomendasikan awal adalah antagonis 5-HT dosis rendah.35


    Pedoman 7. Memastikan pencegahan dan pengobatan PONV dilaksanakan dalam prosedur klinis

    Penilaian dan pengelolaan rutin PONV / PDNV sesuai rekomendasi yang dibuat dalam pedoman ini harus menjadi komponen prosedur bedah standar di seluruh perianestesia.35


    Algoritma untuk pengobatan PONV pada anak-anak dan orang dewasa
    Gambar 1. Algoritma untuk pengobatan PONV pada anak-anak dan orang dewasa


    Dikutip dari: Hooper VD. SAMBA consensus guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting: an executive summary  for perianesthesia.  J Perianesth. 2015;30(5):377-82.


    Pedoman 8. Gunakan pencegahan multimodal umum untuk memfasilitasi implementasi kebijakan PONV

    Strategi pencegahan multimodal dapat menjadi titik awal yang baik dalam memfasilitasi implementasi protokol pengurangan PONV yang lebih baik dan harus merupakan komponen integral dari rencana anestesi.35


    Ringkasan

    Anestesi ambulatori adalah pelayanan anestesia untuk pembedahan, yang secara medis diduga tidak akan memerlukan perawatan menginap pascabedah. Prosedur ambulatori semakin berkembang pesat dari tahun ke tahun yang didorong oleh berbagai faktor, terutama faktor ekonomi dan kenyamanan pasien. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan prosedur ambulatori, baik itu dari pembedahan, dari pasien, maupun dari anestesi. Tidak ada teknik anestesi yang dianggap paling ideal dibanding teknik yang lainnya untuk tindakan anestesi ambulatori. Pemberian agen anestesi harus secara titrasi dan disesuaikan dengan kebutuhan pembedahan. Komplikasi pascabedah yang sering menyebabkan penundaan pemulangan pasien adalah nyeri dan PONV. Untuk pemindahan dan pemulangan pasien dinilai berdasarkan sistem Aldrete dan PADSS. Pasien yang telah dipulangkan harus diawasi oleh seseorang yang telah dewasa dan mampu bertanggung jawab, ataupun dengan pengawasan seorang tenaga kesehatan.


    Daftar Pustaka
    1. Marshall SI, Chung F. Discharge criteria and complications after ambulatory surgery. Anesth Analg. 1999;88:508-17.
    2. Peacock JE, Philip BK. Ambulatory anesthesia experience with remifentanil. Anesth Analg. 1999;89:22-7.
    3. White PF. Update on ambulatory anesthesia. Can J Anesth. 2005;52(6):1-10.
    4. Gudaityte J, Marchertiene I, Pavalkis D. Anesthesia for ambulatory anorectal surgery. Medicina. 2004;40(2):101-11.
    5. Echevarria G, Elgueta F, Fierro C. Nitrous oxide (N2O) reduces postoperative opioid-induced hyperalgesia after remifentanil-propofol anaesthesia in humans. Br J Anaesth. 2011;107(6):959-65.
    6. Plaud B, Debaene B, Donati F, Marty J. Residual paralysis after emergence from anesthesia. Anesthesiol. 2010;112(4):1013-22.
    7. Herbstreit F, Zighrahn D, Ochterbeck C, Peters J, Eikermann M. Neostigmine/ glycopyrrolate administered after recovery from neuromuscular block increase upper airway collapsibility by decreasing genioglossus muscle activity in response to negative pharyngeal pressure. Anesthesiol. 2010;113(6):1280-8.
    8. Buder TF, Meistelman C, Alla F, Grandjean A, Wuthrich Y, Donati F. Antagonism of low degrees of atracurium-induced. Anesthesiol. 2010;112(1):34-40.
    9. Thilen SR, Hansen BE, Ramaiah R, Kent CD, Treggiari MM, Bhananker SM. Intraoperative neuromuscular monitoring site and residual paralysis. Anesthesiol. 2012;117(5):964-72.
    10. Ong CK, Seymour RA, Lirk P, Merry AF. Combining paracetamol (acetaminophen) with nonsteroidal anti-inflammatory drugs: a qualitative systemic review of analgesic efficacy for acute postoperative pain. Anesth Analg. 2010;110(4):1171-9.
    11. Laskowski K, Stirling A, McKay WP, Lim HJ. A systemic review of intravenous ketamine for postoperative analgesia. Can J Anesth. 2011;58:911-23.
    12. Oliveira GS, Castro-Alves LJ, Chang R, Yaghmour E, McCarthy RJ. Systemic metoclopramide to prevent postoperative nausea and vomiting: a meta analysis  without fuji’s studies. Br J Anaesth. 2012;109(5):688-97.
    13. Shnaider I, Chung F. Outcomes in day surgery. Curr Opin Anaesth. 2006;19:622-9. 
    14. McGrath B, Chung F. Postoperative recovery and discharge. Anesthesiol Clin North Am. 2003;21:367-86. 
    15. White PF, Eng M. Fast-track anesthetic techniques for ambulatory surgery. Curr Opin Anaesth. 2007;20:545-57.  
    16. Kehlet H, Wilmore DW. Multimodal strategies to improve surgical outcome. Am J Surg. 2002;183:630-41. 
    17. Ansell GL, Montgomery JE. Outcome of ASA III patients undergoing day case surgery. Br J Anaesth. 2004;92:71-4.  
    18. Aldwinckle RJ, Montgomery JE. Unplanned admission rates and postdischarge complications in patients over the age of 70 following day case surgery. Anaesth. 2004;59:57-9. 
    19. Davies KE, Houghton K, Montgomery JE. Obesity and day-case surgery. Anaesth. 2001;56:1112-15.  
    20. Moon TS, Joshi GP. Morbidly obese patients suitable for ambulatory surgery. Curr Opin Anaesth. 2016;29:141-5.  
    21. Bryson GL, Chung F, Cox RG, Crowe MJ, Fuller J, Henderson C. Patient selection in ambulatory anesthesia - an evidence-based review: part II. Can J Anaesth. 2004;51:782-94. 
    22. Apfel CC, Läärä E, Koivuranta M, Greim CA, Roewer N. A simplified risk score for predicting postoperative nausea and vomiting: conclusions from cross-validations between two centers. Anesthesiol. 1999;91:693-700.  
    23. Hinkelbein J, Hohn A, Genzwürker H. Airway management for anaesthesia in the ambulatory setting. Curr Opin Anaesth. 2015;28:642-47.  
    24. Bryson GL, Chung F, Finegan BA, Friedman Z, Miller DR, van Vlymen J. Patient selection in ambulatory anesthesia - an evidence-based review: part I. Can J Anaesth. 2004;51:768-81.
    25. Sá Rêgo MM, Watcha MF, White PF. The changing role of monitored anesthesia care in the ambulatory setting. Anesth Analg. 1997;85:1020-36.
    26. Moore JG, Ross SM, Williams BA. Regional anesthesia and ambulatory surgery. Curr Opin Anaesth. 2013;26:652-60. 
    27. Joshi GP, Ankichetty SP, Gan TJ, Chung F. Society for ambulatory anesthesia consensus statement on preoperative selection of adult patients with obstructive sleep apnea scheduled for ambulatory surgery. Anesth Analg. 2012;115:1060-8. 
    28. Gan TJ, Meyer TA, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Habib AS. Society for ambulatory anesthesia guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting. Anesth Analg. 2007;105:1615-28.
    29. Awad IT, Chung F. Factors affecting recovery and discharge following ambulatory surgery. Can J Anaesth. 2006;53:858-72.
    30. Osborne GA, Rudkin GE. Outcome after day-care surgery in a major teaching hospital. Anaesth Intensive Care. 2003;21:822-7.
    31. Schug SA, Chong C. Pain management after ambulatory surgery. Curr Opin Anaesth. 2009;22:738-43. 
    32. Mattila K, Toivonen J, Janhunen L, Rosenberg PH, Hynynen M. Postdischarge symptoms after ambulatory surgery: first-week incidence, intensity, and risk factors. Anesth Analg. 2005;101:1643-50.
    33. Ead H. From aldrete to PADSS: reviewing discharge criteria after ambulatory surgery. J Perianesthesia. 2006;21(4):259-67.
    34. White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millennium. Anesth Analg. 2000;90:1234-5.
    35. Hooper VD. SAMBA consensus guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting: an executive summary  for perianesthesia.  J Perianesth. 2015;30(5):377-82.
    36. Gupta A. Wound infiltration with local anaesthetics in ambulatory surgery. Curr Opin Anaesth. 2010;23:708-13. 
    37. O'Donnell BD, Iohom G. Regional anesthesia techniques for ambulatory orthopedic surgery. Curr Opin Anaesth. 2008;21:723-8.


    Djafar MI. Perkembangan Terbaru Anestesi Rawat Jalan. Referat. Universitas Hasanuddin. Januari 2020.

    Artikel terkait:

    Tinggalkan komentar