Nyeri persalinan digambarkan sebagai nyeri yang sangat hebat pada ibu hamil yang akan melahirkan. Terdapat beberapa teknik analgesia secara intratekal untuk persalinan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri persalinan tersebut.

    Pendahuluan

    Wanita hamil menggambarkan rasa sakit pada saat melahirkan sebagai nyeri yang sangat hebat, dan para wanita hamil, terutama di negara-negara berkembang, memiliki sedikit atau tidak ada pilihan untuk menghilangkan rasa sakit saat melahirkan. Opioid dan analgesik parenteral dapat diberikan pada ibu hamil, namun metode manajemen nyeri tersebut kurang efektif dan lebih banyak menimbulkan efek samping.1


    Penanganan nyeri tidak hanya membuat pasien merasa nyaman, akan tetapi juga menurunkan pelepasan hormon stress, yang dapat mengurangi cadangan ibu hamil dan juga nutrisi serta oksigen pada fetus. Ketersediaan analgesia pada persalinan, sekarang ini diketahui dapat menurunkan efek penghambatan dari katekolamin ibu akibat kontraksi uterus, melemahkan asidosis ibu, dan memperbaiki keadaan ibu selama persalinan.1


    Asosiasi nyeri internasional (International Association for the Study of Pain : IASP) telah mendeklarasikan tahun 2007-2008 sebagai tahun global untuk nyeri pada wanita, dengan motto “real woman, real pain”. Permasalahan utama yang disampaikan oleh IASP berkaitan dengan: (1) pentingnya manajemen nyeri saat melahirkan dan dampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat jika nyeri tidak diatasi, dan (2) perawatan pascapersalinan akut, dan pengetahuan tentang kasus umum nyeri kronis, dan (3) persalinan sebagai model klinis dalam studi nyeri akut. 2,3


    Nyeri pada persalinan selalu dihubungkan dengan mitos dan kontroversi. Oleh karena itu, pemberian analgesia yang aman dan efektif selama persalinan masih tetap menjadi sebuah tantangan. Dalam sejarah, masa anestesi obstetrik dimulai dengan James Young Simpson, ketika dia memberikan eter terhadap wanita dengan kelainan pelvis pada saat persalinan. Konsepnya tentang “eterisasi pada persalinan” sangat banyak mendapatkan pertentangan. Perdebatan religi tentang kelayakan anestesi pada persalinan terus berlanjut sampai tahun 1853, ketika John Snow memberikan kloroform kepada ratu Inggris Victoria selama persalinan untuk anak kedelapannya, pangeran Leopold.3


    Intrathecal Labour Analgesia


    Pada beberapa Negara sekarang ini, ketersediaan analgesia regional untuk persalinan dipertimbangkan sebagai pencerminan standar dalam perawatan obstetrik. Berdasarkan survei 2010, penerimaan epidural meningkat sekitar 60% pada pusat maternitas utama di Amerika. Statistik pelayanan kesehatan meternitas nasional di Inggris tahun 2005-2006 melaporkan sepertiga ibu hamil memilih analgesia epidural.3


    Respon fisiologis seorang wanita hamil terhadap nyeri persalinan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin serta mempengaruhi jalannya persalinan. Respon sistem saraf simpatis saat terjadinya nyeri menghasilkan peningkatan katekolamin seperti noradrenalin dan epinefrin secara signifikan dalam sirkulasi. Peningkatan katekolamin ibu meningkatkan curah jantung ibu, meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik, dan meningkatkan konsumsi oksigen. Wanita yang pernah mengalami gangguan pernapasan atau jantung sebelumnya akan sulit bertahan hidup akibat peningkatan tersebut. Peningkatan curah jantung dan resistensi pembuluh darah sistemik dapat meningkatkan tekanan darah ibu. Rasa sakit, stres, dan ketakutan menyebabkan pelepasan hormon stres seperti kortisol dan beta-endorfin. Analgesia yang efektif dapat menumpulkan dan menghilangkan respon-respon tersebut.2


    Hughes D dkk (2001) membandingkan pemberian analgesia persalinan intratekal antara bupivakain dengan ropivakain 2,5 mg keduanya menggunakan adjuvan fentanyl 25 mcg, dan tidak menemukan perbedaan efikasi analgesia yang signifikan. Stoche dkk (2001), mendapatkan penurunan kadar kortisol yang signifikan dibanding sebelum pemberian analgesia persalinan pada ibu hamil yang mendapatkan intratekal sufentanyl dan epidural bupivakain. Hal ini didukung oleh penelitian oleh Aleeca dkk (2011) dimana kadar kortisol ibu yang mendapatkan epidural analgesia signifikan lebih rendah dibanding kontrol.4,5,6


    Nyeri persalinan

    Persalinan merupakan keadaan dimana terjadi dilatasi serviks yang progresif akibat kontraksi uterus yang terus menerus. Persalinan dapat terjadi spontan ataupun melalui induksi, dan aktivitas kontraksi dalam persalinan dapat dinilai melalui frekuensi, durasi dan intensitasnya. Meskipun persalinan merupakan proses yang terjadi terus menerus, akan tetapi proses tersebut dapat dibagi dalam tiga tahapan. Tahapan pertama terdiri atas 2 fase, yaitu fase laten  dengan durasi yang bervariasi (fase antara dimulainya persalinan dan titik terjadinya perubahan pada dilatasi serviks) dan fase dilatasi maksimal (dimana biasanya dimulai pada saat dilatasi serviks 3 cm). Selama fase aktif persalinan, kontraksi uterus yang terjadi berkisar setiap 3 menit, dengan durasi 1 menit , dengan tekanan intrauteri 50-70 mmHg.7


    Pada saat kemajuan persalinan yang normal, serviks seharusnya berdilatasi dengan kecepatan sekitar 1 cm/jam. Ketika aktifitas uterus tidak optimal, oksitosin biasanya diberikan oleh ahli kebidanan. Tahapan kedua diartikan sebagai jarak antara dilatasi penuh serviks dengan lahirnya bayi. Fase ini biasanya berlangsung sekitar 1 hingga 2 jam, dan analgesia epidural dapat diberikan. Tahapan ketiga persalinan adalah pada saat pengeluaran plasenta.7


    Definisi nyeri menurut IASP adalah pengalaman sensorik maupun emosional yang tidak menyenangkan disebabkan oleh kerusakan jaringan yang nyata, atau berpotensi adanya kerusakan atau digambarkan seolah-olah adanya kerusakan jaringan. Persepsi nyeri pada wanita hamil merupakan proses dinamis yang melibatkan mekanisme sentral dan perifer. Banyak faktor yang memberikan efek terhadap derajat nyeri yang dialami oleh ibu yang sedang menjalani persalinan, termasuk, faktor psikologi, dukungan emosional selama persalinan, pengalaman nyeri sebelumnya, harapan ibu terhadap kelahiran bayi, dan penambahan oksitosin pada persalinan. Presentasi kepala yang tidak normal (seperti di presentasi oksiput) juga dapat menyebabkan kontraksi lebih awal dan lebih kuat. Sebuah studi pada 60 wanita yang menjalani persalinan pada tahapan pertama  menggambarkan nyeri akibat kontraksi uterus sebagai nyeri yang” tidak dapat diatasi, tidak dapat ditolerir, sangat parah, dan amat menyakitkan.7


    Persarafan pada nyeri persalinan
    Gambar 1. Persarafan pada nyeri persalinan


    Dikutip dari Eltschig HK, Lieberman ES, Camann WR. Regional Anesthesia and Analgesia for Labor and Delivery. N Eng J Med. 2003;348(4);319-30


    Pada tahapan pertama persalinan, nyeri persalinan timbul langsung dari uterus. Kontraksi uterus dapat menghasilkan iskemia myometrium, dimana secara langsung akan melepaskan bradikinin, histamin dan serotonin. Sebagai tambahan, regangan dan pelebaran uterus bagian bawah  dan serviks dapat menstimulasi mekanoreseptor. Impuls noksius ini akan berjalan pada serabut saraf sensorik bersamaan dengan ujung saraf simpatis; serabut tersebut berjalan melalui daerah paraservikal dan pleksus hipogastrik menuju rantai simpatis lumbal. Rangsangan ini masuk ke daerah korda spinalis pada tingkat spinal T10, T11, T12, dan L1. Wanita yang tengah menjalani persalinan menggambarkan nyeri ini seperti nyeri tumpul yang sulit dilokalisir. Dengan onset tahapan kedua pada persalinan dan peregangan perineum, serabut saraf aferen somatik mentransmisikan impuls melalui saraf pudendal ke korda spinalis pada tingkatan S2,S3, dan S4.7,9


    Perjalanan nyeri pada setiap fase persalinan
    Gambar 2. Perjalanan nyeri pada setiap fase persalinan


    Dikutip dari Eltschig HK, Lieberman ES, Camann WR. Regional anesthesia and analgesia for labor and delivery. N Eng J Med. 2003;348(4);319-30


    Kenyamanan ibu merupakan hal yang terpenting selama dan setelah persalinan. Nyeri pada obstetrik timbul dari beberapa sumber seperti nyeri persalinan normal, seksio sesarea, episiotomi, dan setelah persalinan. Perhatian terhadap kenyamanan dan analgesia pada wanita selama dan setelah persalinan adalah penting untuk alasan fisik dan psikologis. Penanganan nyeri pada kebidanan difokuskan pada nyeri persalinan, kontrol nyeri selama seksio Caesarea dan penanganan nyeri setelah persalinan. Nyeri yang berhubungan dengan persalinan mungkin telah ada saat masa kehamilan. Selama bersalin, lebih dari 95% wanita melaporkan nyeri yang terjadi selama seksio sesarea jika terdapat blok saraf dengan kualitas yang kurang baik atau terjadi pemanjangan pembedahan, dan setelah persalinan ketika lebih dari 70% ibu melaporkan nyeri akut dan kronik.10


    Nyeri yang dialami pada persalinan disebabkan oleh stimulasi mekanis, suhu dan kimia yang bekerja pada nosiseptor aferen. Impuls nyeri yang berjalan melalui salah satu dari dua jenis serabut saraf yang kemudian berjalan ke korteks otak. Nosiseptor yang pertama adalah nosiseptor yang tidak bermyelin dan disebut serabut saraf C. Sedangkan yang kedua adalah serabut yang bermyelin A delta yang berfungsi membawa sensasi nyeri tajam. Ketika impuls nyeri sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis, maka saraf tersebut mengalami persilangan pada sinaps melalui neurotransmitter somatostatin, kolesistokinin dan substansi P. Melalui neurotransmitter ini, impuls nyeri dapat meninggalkan saraf perifer dan melanjutkan perjalanannya ke arah korteks otak melalui saraf spinalis. Lokasi ini adalah tempat lokasi impuls dihambat atau justru ditingkatkan saat terjadinya nyeri persalinan. Banyaknya nyeri yang hilang tergantung dari berapa banyak segmen medulla spinalis yang terblok.11,12


    Uterus dan serviks dipersarafi oleh saraf aferen bersama dengan saraf simpatis pada uterus dan pleksus servikal, pleksus hipogastrik inferior, media, dan superior serta pleksus aorta. Serabut viseral C yang kecil dan tidak bermyelin membawa nosisepsi melalui rantai simpatis lumbal dan torakal segmen bawah menuju akar serabut posterior dari saraf torakal 10, 11, 12, dan lumbal 1 yang bersinaps pada kornu dorsalis. Mediator kimia dapat melibatkan bradikinin, prostaglandin, leukotrien, substansi P, serotonin, dan asam laktat. Dengan peningkatan nyeri persalinan, hal ini berkenaan dengan dermatom yang disuplai oleh segemen T10-L1.2,11,12


    Pada kala II, tekanan langsung pada pleksus lumbosakral dapat menyebabkan nyeri neuropatik. Peregangan pada vagina dan perineum menyebabkan stimulasi pada saraf pudendal (S2, S3, S4) melalui serabut yang bermyelin A delta. Dari daerah ini, impuls melewati sel kornu dorsalis dan akhirnya menuju otak melalui traktus spinotalamikus. Transmisi menuju hipotalamus dan sistem limbik akan menyebabkan respon emosional dan otonom yang berhubungan dengan nyeri.2,11,12


    Intensitas nyeri persalinan
    Gambar 3. Intensitas nyeri persalinan


    Dikutip dari Birnbach DJ, Browne IM. Anaesthesia for obstetrics. In: Miller RD editor; Miller’s Anaesthesia 6th eds.San Fransisco; Elsevier Churchill Livingstone. 2006. pp. 2306-33


    Fase transisi dari persalinan berhubungan dengan pergeseran dari kala I fase aktif  (dilatasi serviks dari 7 cm ke 10 cm) ke kala II persalinan (dilatasi penuh). Pada kala II persalinan (diartikan sebagai dilatasi serviks lengkap sampai kelahiran bayi), nyeri terjadi mulai saat regangan vagina, perineum dan pelvis. Umumnya wanita yang baru pertama kali bersalin merasakan sensasi nyeri lebih hebat dibanding dengan yang multiparitas pada saat masa-masa awal persalinan (sebelum pembukaan 5). Kebutuhan analgesik meningkat seiring dengan kemajuan persalinan.  Pada akhir fase aktif (kala transisi) merupakan periode yang paling nyeri pada saat persalinan. Konsentrasi analgesik lokal mimimum, atau konsentrasi efektif median, meningkat seiring dengan meningkatnya dilatasi serviks. Dosis kombinasi sufentanyl dan bupivakain  intratekal memiliki durasi yang lebih panjang pada fase awal persalinan dibanding dengan fase akhir persalinan.13,14


    Analgesia persalinan

    Metode terdahulu dalam penatalaksanaan nyeri meliputi sedasi, akupuntur, maupun metode fisik. Pada tahun 1874, James Young Simpson memberikan anestesi umum obstetri pertama menggunakan eter. Pada 1853, John Snow membantu persalinan anak kedelapan ratu Victoria dengan kloroform. Tahun 1881, Stanislav Klikovitch menggambarkan penggunaan nitrat oksida untuk persalinan di Rusia. Pada 1902, morfin dan hyscosin pertama kali digunakan pada persalinan. Petidin pertama kali digunakan pada tahun 1940. Tahun 1931, Eugen Bogdan Aburel, ahli obstetrik dari Rumania, menggambarkan kaudal kontinyu ditambah blok pleksus lumboaorta pada persalinan. Pada 1945, Curtis Mendelson menggambarkan sindrom dari aspirasi asam akibat anestesi umum untuk seksio sesarea. Pada tahun 1949, Cleland melaporkan penggunaan analgesia epidural kontinyu pada persalinan. Pada 1958, Ferdinan Lamaze menerbitkan bukunya yang menyarankan bahwa nyeri merupakan reflex yang dipicu oleh kontraksi uterus, dan bahwa psikoprofilaksis dapat mengurangi nyeri.11,15


    Tantangan dalam menangani nyeri obstetrik berhubungan dengan fakta bahwa kebutuhan analgesia yang efektif sebaiknya diseimbangkan dengan kemampuan ibu  untuk secara aktif mendorong dan melahirkan bayi mereka. Analgesia sakral yang optimal kadangkala membutuhkan konsentrasi larutan anestetik lokal dibanding nyeri pada kala I, sehubungan dengan tebalnya akar saraf yang harus diblok, hanya ketika ahli kebidanan dan ibu khawatir akan ketidakmampuan dalam mendorong dan terjadinya blok motorik yang akan mengganggu persalinan pervaginam. Ahli anestesi obsterik sekarang ini memahami bahwa penangan nyeri persalinan yang optimal membutuhkan blok sensorik yang  optimal (analgesia selektif) dengan jumlah anestetik lokal yang minimal ditambah dengan opioid, dimana  tetap memberikan analgesia sakral.2


    Analgesia neuraksial sentral merupakan metode yang berguna untuk nyeri persalinan dan merupakan teknik pilihan untuk kontrol nyeri pada obstetrik yang mudah dilakukan. Teknik analgesia neuraksial telah digunakan secara luas dalam 20 tahun terakhir, khususnya di barat, dan beberapa pusat di India. Hal ini nampaknya tidak akan mengalami perubahan segera dibanding dengan penggunaan teknik lain. Kepuasan atas pengalaman persalinan lebih besar dengan teknik neuraksial.3


    Terdapat beberapa kemajuan yang sangat menarik dengan penggunaan analgesia neuraksial (seperti penggunaan analgesia kombinasi epidural dan spinal) dan ketersediaan obat-obat tambahan terbaru. Kemajuan teknologi telah memfasilitasi berbagai modalitas dan ketersediaan obat-obat terbaru, seperti penggunaan infus yang dikontrol oleh pasien, dan percobaan-percobaan terkontrol acak terbaru telah membantu dalam menyelesaikan beberapa kontroversi yang berhubungan dengan analgesia neuraksial.3


    Teknik pilihan untuk analgesia persalinan adalah penggunaan anestesi epidural, yang telah banyak digunakan di berbagai belahan dunia untuk memfasilitasi persalinan tanpa rasa sakit dan memiliki keuntungan karena fleksibel terhadap kebutuhan pasien. Penggunaan injeksi tunggal intratekal dengan bupivakain dosis rendah untuk analgesia persalinan telah banyak dilakukan dan nampaknya cukup efektif. Keuntungan dari teknik ini termasuk cepatnya onset blok dengan perubahan minimal pada hemodinamik dan blok motorik. Beberapa obat tambahan telah diberikan untuk bupivakain intratekal, untuk memperpanjang durasi blok sensorik. Obat tambahan seperti fentanyl, sufentanyl, morfin, klonidin dan dexmedetomidin.1


    Tabel 1. Perbandingan teknik analgesia persalinan

    Teknik analgesia persalinan Kelebihan Kekurangan
    Blok spinal Prosedur singkat

    Onset cepat
    Ketinggian blok tidak dapat diperkirakan

    Durasi berakhir sebelum akhir persalinan
    Blok epidural Blok segmental dapat diprediksi Prosedur lebih rumit, dapat menambah stres ibu hamil

    Onset lebih lambat
    Kombinasi spinal-epidural Onset cepat

    Analgesia epidural dapat digunakan setelah durasi blok spinal berakhir
    Prosedur lebih lama

    Analgesia epidural sering tidak digunakan


    Kombinasi teknik analgesia spinal dan epidural memberikan keuntungan analgesia persalinan dibandingkan teknik epidural tunggal saja. Keuntungan tersebut berupa onset analgesia yang lebih cepat, analgesia sakral yang adekuat, juga diberikan secara kontinyu setelah komponen analgesia spinal habis. Pemberian analgesia intratekal dapat meningkatkan efektifitas komponen analgesia epidural. Pada penelitian prospektif, Leighton dan kawan-kawan melaporkan penyebaran dermatom yang lebih baik pada epidural jika sebelumnya telah diberikan sufentanyl intratekal, melalui teknik kombinasi spinal dan epidural, dibanding dengan kelompok yang menerima bupivakain tunggal melalui epidural. Akan tetapi, pada praktik sehari-hari, kebyanyakan komponen epidural pada penggunaan teknik kombinasi spinal dan epidural tidak digunakan.16-18


    Analgesia persalinan regional dapat diberikan pada pusat pelayanan yang terbatas, namun demikian kepedulian harus tetap diberikan selama proses pemulihan meskipun pada keadaan terbatasnya sumber daya manusia yang ada. Analgesia persalinan dengan teknik spinal menggunakan jarum Whitacare dan bupivakain (2,5mg) dengan atau tanpa narkotik. Anestesi spinal sangat sederhana dan merupakan teknik yang dapat digunakan dengan onset yang cepat. Anestesi spinal dilakukan dimana pasien dalam keadaan sadar dan nyaman dengan resiko yang minimal akibat aspirasi isi lambung. Sediaan yang biasa digunakan untuk suntikkan spinal untuk analgesia persalinan kombinasi dengan epidural, yang dilaporkan pada 6 percobaaan yang ditinjau oleh Simon dkk, dan pada percobaan prospektif lainnya adalah bupivakain 2,5 mg dan fentanyl 25 mcg.10,11


    Opioid sintetik yang kelarutannya dalam lemak tinggi seperti fentanyl dan sufentanyl sangat sering digunakan dengan obat anestesi lokal konsentrasi rendah seperti bupivakain (0.0625–0.125%) dan ropivakain (0.2–0.25%) dalam memberikan analgesia yang baik selama persalinan. Tidak seperti opiod yang larut dalam air seperti morfin atau petidin yang sifatnya kurang larut dalam lemak, opioid yang bersifat lipofilik tidak menyebar ke daerah atas dalam cairan serebro spinal dan obat ini nampaknya memiliki kondisi analgesia segmental.19


    Intrathecal Labour Analgesia

    Penggunaan analgesia spinal biasanya ideal digunakan pada: pasien multipara dengan fase aktif persalinan yang progresif, pasien yang tidak nyaman dengan atau sulit mempertahankan posisinya pada saat pemasangan epidural, pasien dengan gangguan jantung dimana dengan narkotik dapat menurunkan tekanan darah lebih sedikit dibanding pemberian epidural, pasien tetap dengan fungsi motorik yang baik untuk proses ambulasi, dan terjadinya takifilaksis atau toleransi terhadap anestetik lokal akibat pemberian terus menerus. Jarum spinal yang digunakan adalah yang terkecil (25 G atau lebih kecil), ujung pensil (Whitacre atau Sprotte), untuk mengurangi resiko nyeri kepala akibat tusukan spinal.20


    Injeksi obat anestesi lokal secara atau opioid intratekal secara tunggal memberikan mula kerja yang cepat dan analgesia persalinan yang efektif. Hal ini sesuai untuk pasien yang berada dalam tahap pra-persalinan atau wanita hamil yang mengalami stres sehingga terdapat kesulitan untuk memasang kateter epidural. Injeksi spinal tunggal juga dapat digunakan untuk persalinan dengan bantuan instrumentasi.7


    Data dari sebuah penelitian observasional menilai hubungan antara persalinan Caesarea dan pemberian analgesia neuraksial selama persalinan awal (biasanya pada saat pembukaan serviks lebih dari 4-5 cm). Berdasarkan penelitian ini, ACOG (American College Obsterician and Gynecologists) merekomendasikan selama beberapa tahun dimana ibu hamil menunda untuk mendapatkan analgesia epidural, jika memungkinkan sampai dilatasi serviks 4-5 cm. Namun demikian, sama halnya dengan efek permintaan analgesia neuraksial dalam hubungannya dengan persalinan Caesarea, muncul pertanyaan apakah pemberian awal dari analgesia neuraksial secara langsung bertanggung jawab terhadap dampak buruk terhadap persalinan, atau berhubungan dengan meningkatnya resiko persalinan Caesarea.21,22


    Anatomi anestesi spinal pada persalinan
    Gambar 4. Anatomi anestesi spinal pada persalinan


    Dikutip dari: Patel NP, Armstrong SL, Fernando R, Columb MO, Bray JK, Sodhi V, Lyons GR. Combined spinal epidural vs epidural labour analgesia: does initial intrathecal analgesia reduce the subsequent minimum local analgesic concentration of epidural bupivacaine?. Anaesthesia. 2012;67(6);584-93


    Nyeri persalinan pada kala I secara umum berasal dari organ viseral. Meningkatnya intensitas nyeri dan perubahan ke nosisepsi somatik menandakan nyeri persalinan pada akhir kala I atau ke kala II. Efek dari perubahan masukan nosisepsi ini berdasarkan durasi analgesia persalinan intratekal belum dipahami dengan baik. Penelitian observasional kohort prospektif membandingkan durasi analgesia persalinan intratekal setelah penyuntikkan pada persalinan fase awal (dilatasi serviks 3-5 cm) dan yang dibuat pada persalinan pada fase lanjut (dilatasi serviks 7-10 cm). Empat puluh satu wanita hamil (18 pada tahap awal persalinan dan 23 pada tahap akhir persalinan) menerima sufentanil intratekal (10 mcg) dan bupivakain (2,5 mg) sebagai tambahan dari teknik kombinasi spinal dan epidural. Pasien melaporkan tingkat nyeri menggunakan skala nyeri verbal pada saat sebelum dilakukan injeksi intratekal dan setiap 20 menit setelahnya. Durasi analgesia ditentukan pada saat skor nyeri sampai 5 atau dibutuhkannya penambahan analgesia melalui epidural. Durasi analgesia secara signifikan lebih kurang ketika penyuntikkan intratekal dilakukan pada persalinan fase lanjut (120+/-26 menit) dibanding dengan persalinan fase awal (163+/-57 menit). Disimpulkan bahwa dilatasi serviks dan fase persalinan secara signifikan mempengaruhi durasi efektif dari penyuntikkan analgesia intratekal sufentanyl/bupivakain.23


    Pada sebuah penelitian yang membandingkan bupivakain hiperbarik dikombinasi ajuvan fentanyl intratekal dengan analgesia epidural kontinyu dengan bupivakain untuk kontrol nyeri persalinan, Younes dkk menyimpulkan bahwa obat anestesi lokal dengan narkotik terbukti mengurangi nyeri dengan aman pada sebagian besar pasien yang bersalin, dengan onset yang cepat dan durasi analgesia persalinan yang memanjang dibandingkan dengan analgesia epidural. Teknik ini juga lebih mudah dilakukan, tidak memakan waktu banyak, lebih murah, dan memberikan analgesia yang sama baiknya.24


    Pemberian morfin intratechal dengan dosis 0,1-0,5 mg dapat memberi analgetik yang baik dan lama (hingga 4-6 jam). Onset nya agak lambat (45-60 menit). Morfin jarang digunakan sebagai agen tunggal karena efek sampingnya yang tinggi. Kombinasi morfin 0.1-0.25 mg dengan fentanyl 12,5 mcg dapat mempercepat onset analgesi (5 menit). Bolus intermiten petidine 10-15 mg   atau fentanyl 12,5-25 mcg melalui kateter intratechal juga disinyalir dapat meberikan efek analgesik yang baik. Pemberian dosis tunggal 2,5 mg bupivacaine, 25 mcg fentanly dan 250 mcg morfin memberikan efek analgesi selama 4 jam. 24,25,26


    Opioid sebagai agen tunggal dapat diberikan secara intratekal maupun epidural. Dosis yang relatif besar diperlukan untuk menimbukan efek analgesia jika opioid diberikan sebagai dosis tunggal. ED50 untuk menimbulkan analgesia pada persalinan adalah 124 mcg untuk epidural fentanyl dan 21 mcg untuk epidural sufentanyl. Semakin besar dosis yang diberikan maka semakin besar pula kemungkinan efek samping opioid akan terjadi. Opioid tunggal biasanya digunakan pada ibu hamil yang tidak dapat mentoleransi efek simpatektomi akibat penggunaan anestesi lokal, misalnya pada kondisi  hipovolemia, gangguan kardiovaskular yang signifikan (stenosis aorta moderate/ berat, Eissenmenger’s syndrome, hipertensi pulmoner). Opioid tidak menyebabkan blokade motorik sehingga tidak mengilangkan efek mengedan pada ibu hamil.25


    Tabel 2. Dosis opioid regional untuk persalinan normal

    Obat Intratekal Epidural
    Morfin 0,1 - 0,5 mg 5 mg
    Pethidin 10 - 15 mg 50 - 100 mg
    Fentanyl 10 - 25 mcg 50 - 150 mcg
    Sufentanyl 3 - 10 mcg 10 - 20 mcg


    Dikutip dari: Morgan GE, Mikhail MS, Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Edition, 2013: 846-55.


    Kombinasi anestesi lokal dengan opioid merupakan agen yang paling banyak digunakan untuk teknik regional anestesi pada persalinan normal. Penggunaan kombinasi kedua agen ini akan mengurangi kebutuhan dosis sehingga efek samping yang timbul dapat diminimalisasi . ED50 bupivacaine epidural adalah 24 mg sedangkan kobinasi opioid anestesil lokal menyebabkan penurunan ED50 bupivacaine menjadi 2,2 mg dan sufentanil menjadi 0,85 mcg.28


    Pada penelitian yang menggunakan sufentanil, didapatkan bahwa sufentanil dengan dosis 1,8 mcg meringankan nyeri pada 50% persalinan nulipara spontan pada yang diberikan pada pembukaan serviks < 5 cm. Temuan ini sesuai dengan temuan sebelumnya di mana sufentanil dengan dosis 3 mcg intratekal menghasilkan analgesia yang adekuat pada pembukaan serviks &rt; 6 cm. Ibu hamil pada fase persalinan yang lebih lanjut, atau yang mendapatkan induksi oksitosin intravena, seperti pada kasus pasien multipara akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai analgesia yang adekuat.29


    Pada suatu hasil meta-analisis yang membandingkan antara penggunaan opioid intratekal dengan lokal anestesi epidural didapatkan bahwa, intratekal opioid memberikan efek analgetik yang dapat diperhitungkan jika dibandingkan dengan lokal anestesi, akan tetapi angka kejadian pruritus bertambah dan pemilihan antara spinal maupun epidural tidak mempengaruhi prosedur persalinan.30


    Komplikasi

    Analgesia neuraksial menghasilkan beberapa komplikasi pada ibu yang memiliki potensi efek gangguan pada fetus, akan tetapi juga tetap meliki potensi efek yang diinginkan. Oleh karena itu perlu penilaian dampak pada neonatus, dibanding membuat pendapat berdasarkan efek pada ibu atau pengaruhnya pada fetus. Beberapa penelitian di akhir abad menunjukan bahwa analgesia epidural pada persalinan melemahkan atau mengeliminasi peningkatan hormon stress seperti epinefrin, kortisol, ACTH, hormon peptida dan angiotensin II. Efek menenangkan dari analgesia epidural, bersama dengan kurangnya hiperventilasi ibu yang merugikan, dapat membantu  dalam memperhitungkan keuntungan asam basa pada neonatus.31


    Perbandingan acak antara analgesia spinal injeksi tunggal dengan bupivakain dosis rendah dan sufentanyl dibandingkan blok paraservikal menggunakan bupivakain saja menunjukkan bahwa analgesia lebih baik pada kelompok spinal, akan tetapi pH arteri umbilikus secara signifikan lebih rendah.31


    Perubahan laju jantung fetus telah diobservasi dengan analgesia intratekal menggunakan dosis kecil anestetik lokal dan opioid, tunggal maupun dengan kombinasi. Pada awalnya, menurunnya kecepatan laju jantung bayi pada berbagai penelitian perbandingan, acak tersamar dan prospektif antara sufentanyl, fentanyl dan meperidin intra tekal dianggap tidak ada perbedaan secara bermakna oleh Honey dkk. Dua tahun kemudian Clarke dkk melaporkan adanya hiperaktifitas uterus pada beberapa kasus yang disertai dengan bradikardi fetus setelah dilakukan penyuntikan fentanyl 50 mcg secara intratekal.32


    Penurunan denyut jantung fetus 80 – 100 kali/menit didapatkan pada 7 dari 30 pasien yang berurutan. Pada 2 pasien lainnya, denyut jantung fetus menurun dibawah 70 kali/menit. Perubahan denyut jantung fetus ini terjadi tanpa didahului hipotensi pada ibu dan dalam waktu 30 menit setelah injeksi intratekal dengan fentanyl. Lima dari sembilan pasien dengan bradikardi juga menunjukkan hiperaktifitas uterus yang didetekasi melalui transduser tekanan internal maupun eksternal. Hiperaktifitas uterus setelah penyuntikkan fentanyl intra tekal telah didukung oleh beberapa laporan.32


    Pengaruh langsung zat analgetik lokal yang melewati sawar plasenta terhadap bayi dapat diabaikan. Menurut Giasi pemberian intratekal 75 mg lidokain akan menghasilkan kadar obat tersebut sebanyak 0,32 mcg/mL di darah pasien. Protein plasma dan sel darah merah mengikat sekitar 70% lidokain yang bersirkulasi di dalam darah. Selain itu efek uterine vaskular shunt akan menyebabkan lebih sedikit lagi konsentrasi lidokain di dalam bayi. Bonnardot melaporkan, konsentrasi morfin di dalam bayi sangat kecil bilamana diberikan secara intratekal sebanyak 1 mg morfin untuk mengurangi rasa nyeri karena persalinan. Penyebab utama gangguan terhadap bayi setelah seksio Caesaria dengan analgesia spinal adalah hipotensi yang berakibat berkurangnya aliran darah uterus sertahipoksia maternal. Besarnya efek tersebut terhadap bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi.33


    Ringkasan

    Nyeri persalinan merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang tepat karena berdampak pada kesejahteraan janin dan ibu. Nyeri persalinan terdiri dari 2 komponen utama yaitu nyeri viseral dan nyeri somatik, tergantung dari fase proses persalinan serta berasal dari serabut aferen setinggi T10 hingga S4. Teknik regional anestesi termasuk metode yang paling umum dan paling banyak digemari dalam mengatasi nyeri persalinan. Injeksi anestesi lokal atau opioid intratekal secara tunggal memberikan analgesia persalinan yang efektif dengan mula kerja cepat.


    Daftar Pustaka
    1. Ogan SF, Job OG, Enyindah CE. Comparative Effects of Single Shot Intrathecal Bupivacaine with Dexmedetomidine and Bupivacaine with Fentanyl on Labor Outcome. ISRN Anesthesiology. 2012;2012;1-6.
    2. Ballantyne JC, Cousins MJ, Glamberardino MA, Jamison RN, Mc Grath PA, Rajagopal MR. Modern Labor Analgesia. IASP. 2011;19(4);1-4.
    3. Pandya ST. Labour Analgesia; Recent advance. Indian J Anaesth. 2010;54(5);400-8.
    4. Hughes D, Hill D, Fee JPH. Intrathecal ropivacaine or bupivacaine with fentanyl for labour. Br J Anaesth. 2001;87(5);733-7.
    5. Stocche RM, Klamt JG, Antunes RJ, Garcia LV, Moreira AC. Effects of intrathecal sufentanil on plasma oxytocin and cortisol concentrations in women during the first stage of labor.Reg Anesth Pain Med. 2001;26(6);545-50.
    6. Bell AF, Traut RW, Wang EC, Schwertz D. Maternal and Umbilical Artery Cortisol at Birth: Relationships With Epidural Analgesia and Newborn Alertness. Biol Res Nurs. 2011;12(2);1-8.
    7. Birnbach DJ, Browne IM. Anaesthesia for Obstetrics.In Miller RD editor; Miller’s Anaesthesia 6th eds.San Fransisco;Elsevier Churchill Livingstone; 2006. pp. 2306-33.
    8. Eltschig HK, Lieberman ES, Camann WR. Regional Anesthesia and Analgesia for Labor and Delivery. N Eng J Med. 2003;348(4);319-30.
    9. Yarnell RW, McDonald JS. Obstetric Analgesia and Anesthesia. In DeCherney AH, Nathan L editors; Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9th eds. California; Mc Graw-Hill; 2003. pp. 291-303.
    10. Ebirim LN, Buowari OY, Ghosh S. Physical and Psychological Aspects of Pain in Obstetrics. In. Pain in perspective. River State; University of Port Harcourt Teaching Hospital;2012. pp. 219-32.
    11. Rudra A. Pain relief in labour-Review article. Update in Anaesthesia. 2009;6-10
    12. Labor S, Maguire S. The Pain of Labour. Br J Pain. 2008;2(2):15-9.
    13. Jones L, Othman M, Dowswell T, Alfirevic Z, Gates S, Newburn M. Pain management for women in labour: an overview of systematic reviews (Review). The Cochrane Collaboration. 2012;(3);1-140.
    14. Wong CA. Analgesia and Anesthesia for Labor and Delivery. 2009 (cited 2013 October 12). Available from: www.thegloballibraryofwomen’smedicine.com.
    15. Cherneky CC, Berger BJ. Cortisol serum and plasma. In Laboratory and diagnostic procedure 5th eds. Philadelphia; Saunders; 2008.p. 123.
    16. Patel NP, Armstrong SL, Fernando R, Columb MO, Bray JK, Sodhi V, Lyons GR. Combined spinal epidural vs epidural labour analgesia: does initial intrathecal analgesia reduce the subsequent minimum local analgesic concentration of epidural bupivacaine?. Anaesthesia. 2012;67(6);584-93.
    17. Loubert C, Hinova A, Fernando R. Update on modern neuraxial analgesia in labour: a review of the literature of the last 5 years. Anaesthesia. 2011;66;191-212.
    18. Viitanen H, Viitanen M, Heikkila M. Single shot spinal block for labour analgesia in multiparous patients. Acta Anaesth Scand. 2005;49:1023-9.
    19. Akkamahdevi P, Srinivas HT, Siddesh A, Kaadli N. Comparision of efficacy of sufentanil and fentanyl with low-concentration bupivacaine for combined spinal epidural labour analgesia. Indian J Anaesth. 2012;56(4);365-9.
    20. Wilkin I, Pygon B, Peter B, Tyrol D. Analgesia and anaesthesia for obstetrical patients. Obstetrics Guidelines. Chicago; University of Illinois Medical Center; 2008. pp. 1-11.
    21. Schrock SD, Smith CH. Labor Analgesia. Am Fam Phys. 2012;85(5):447-54.
    22. Cambic CR, Wong CA. Labour analgesia and obstetric outcomes. Br J Anaesth. 2010;105(1):50-60.
    23. Viscomi CM, Rathmell JP, Pace NL. Duration of intrathecal labor analgesia: early versus advanced labor. Anesth Analg. 1997;84(5);1108-12.
    24. Younes M, Gamil K, Elgarhy AM. Intrathecal hyperbaric bupivacaine with fentanyl for labor pain control: a comparative study with continuous epidural analgesia with bupivacaine. Ain-Shams J Anaesth. 2018;10(1):230-6.
    25. Morgan GE, Mikhail MS, Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Edition, 2013. pp. 846-55.
    26. Bricker L, Lavender T. Parenteral opioids for labor pain relief: a systematic review. Am J Obstet Gynecol. 2002; 186:S94-109.
    27. Collis RE, Davies DWL, Aveling W. Randomised comparison of combined spinal-epidural and standard epidural analgesia in labour. Lancet. 2005;345:1413-16.
    28. Camann W,  et all. Intrathecal sufentanil and epidural bupivacaine for labour analgesia: dose-response of individual agent and in combination. Reg Anesth Pain Med. 1998;23:457-62.
    29. Arkoosh VA, Cooper M, Norris MC, Boxer L, Ferouz F, Silverman NS, et al. intratechal sufentanil dose response in nulliparous patients. Anethesiology. 1998;89:364-70.
    30. Brenda A, David H, Joy L. Intrathecal opioids versus epidural local anesthetics for labor analgesia: A meta-analysis. Reg Anesth Pain Med. 2002;27:23-30.
    31. Reynolds F. Labour analgesia and the baby: good news is no news. Int J Obstet Anesth. 2011;20: 38–50.
    32. Engel NMAA, Van De Velde M, Nijjhuis JG, Marcus MAE. Labour analgesia effects on fetal heart rate. A mini-review. Open J Obstet Gynecol. 2011;1:113-20.
    33. Rofiq A, Sutiyoso D. Perbandingan Antara Anestesi Regional Dan Umum Pada Operasi Caesar. J Anestesiol Indon. 2009;1(3):185-99.


    Winata A. Perbandingan kombinasi intratekal levobupivakain 0,1% 2 mg fentanyl 25 mcg dengan bupivakain 0,1% 2 mg fentanyl 25 mcg terhadap hemodinamik, intensitas nyeri, dan durasi persalinan pada persalinan normal. Thesis. Universitas Hasanuddin. 2021. Tersedia pada https://repository.unhas.ac.id/

    Artikel terkait:

    Tinggalkan komentar